Advertisement

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA UPAYA MENGEMBANGKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

 PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA
UPAYA MENGEMBANGKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh:
ADI WALUYO, M.Pd.
(Guru Matematika SMAN 1 Pakel Tulungagung)


A. Pendahuluan

Berdasarkan pengalaman di kelas, pada umumnya siswa-siswa SMA kurang berani untuk mengungkapkan idenya di depan kelas. Kalau guru mengajukan pertanyaan berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari, siswa pada umumnya tidak menjawab atau mengalihkan pada temannya. Sangat sedikit siswa yang berani mengutarakan idenya dan itu pun harus ditunggu agak lama dan ditunjuk langsung oleh guru. Sikap dan tingkah laku itu menunjukkan rendahnya kepercayaan diri siswa, khususnya dalam pembelajaran matematika.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa siswa kurang berani mengutarakan idenya, hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan bagaimana guru mengajarkan matematika kepada siswa. Pembelajaran di SMA pada umumnya sangat berorientasi pada guru, guru mentransfer apa yang diketahuinya pada siswa dan siswa menerima materi yang disampaikan oleh guru secara pasif. Guru sering mengajukan pertanyaan, tetapi pertanyaan yang diajukan sifatnya hanya basa-basi, sebagai contoh, ”sudah mengerti, anak-anak?”.

Pada umumnya pertanyaan itu dijawab siswa serentak dengan ”sudah, Pak’’ dan guru pun melanjutkan pelajaran dengan menjelaskan materi lanjutan, tanpa ada usaha untuk memeriksa apakah siswa betul sudah mengerti. Kalau siswa melakukan kesalahan, maka siswa akan dihukum dalam berbagai bentuk, seperti ”begitu saja tidak bisa” atau ”apa kamu dirumah tidak pernah belajar?”, dan lain-lain.

Berdasarkan ilustrasi di atas, berarti kepercayaan diri siswa dalam proses pembelajaran kurang, sehingga perlu ada upaya dari seorang guru untuk menerapkan strategi pembelajaran matematika dalam upaya mengembangkan kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika.

B. Paradigma Baru Pendidikan

Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses pembelajaran mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang.

Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan Silabus atau apa yang telah tertulis di dalam buku pegangan siswa. Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.

Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Peserta didik harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing peserta didik ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas peserta didik aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Hal ini sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa :

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Perubahan paradigma pendidikan di era globalisasi ini mengharuskan adanya perubahan pola pikir bagi guru. Guru harus mengantisipasi dan mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang berbasis kompetensi, reorientasi pembelajaran dari teaching menjadi learning.

Perubahan pola pikir bagi guru dalam mengelola kelas dan melaksanakan proses pembelajaran guru dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam melakukan perubahan-perubahan dalam rangka meningkatkan mutu layanan pendidikan khususnya layanan proses pembelajaran. Tuntutan ini merupakan implikasi dari perubahan reorientasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru mata pelajaran.

C. Pendekatan Pembelajaran Matematika

Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan tersebut adalah: konstruktivisme, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) dan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

1. Filsafat Kontruktivisme dan Pembelajaran Kontekstual

a. Konstruktivisme

Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).

Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah: (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997). 

Menurut filsafat konstruktivisme berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997). 

Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para peserta didiknya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Menurut Suparno (1997), fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.

  1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
  2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik. 
  3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. 
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, menurut Suparno (1997) diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.

  1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
  2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
  3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
  4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
  5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.

b. Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu keyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancari dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan tersebut.

Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang telah mereka pelajari. Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa mampu menghubungkan pelajaran di sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru, dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru.

Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari Contextual Teaching and Learning (CTL) melibatkan proses yang berbeda, apabila digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna pelajaran atau tugas-tugas sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni: konstruktivitas (constructivism), bertanya (questioning), inkuiri (inquiry) masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian autentik (authentic assessment) (Trianto, 2007).

Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sistem, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik.

Lebih lanjut tentang pendidikan matematika realistik silahkan baca pada file di bawah ini:

Anda juga dapat mengunduh file tersebut di sini.

Selamat membaca semoga bermanfaat dan menginspirasi kawan guru hebat!

Penulis :






Posting Komentar

0 Komentar