Advertisement

MIMPI SIANG HARI

Siang begitu panas, matahari nampak seperti tukang sate yang siap membakar daging-daging segar. Waktu menunjukkan jam sebelas siang. Burung-burung beristirahat di pohon kapuk, pohon randu, pokoknya di pohon-pohon yang agak besar. Yang agak mengherankan, kupu-kupu bersayap tipis putih masih kuat menjelajah tanaman depan rumah, terkadang berhenti sebentar di tanah atau ranting kecil. Sayang sekali ia tak pernah mau berhenti di tanganku. Karena kipas alam tak berfungsi, dan juga tak punya kipas listrik apalagi AC, maka buku tipis di tanganku beralih tugas menjadi kipas manual. Bibir terus bergerak ke depan, berusaha mengeluarkan siulan yang hasilnya hanya desah nafas. Di meja sebuah hp putih dengan headset tertancap tergeletak, masih mengeluarkan suara gending-gending entah dari gelombang radio yang mana. Pendengarnya sendiri–orang tuaku–sudah tengkurap tidur di dipan. Pengap sekali. Tanganku yang bebas bergerak serampangan mencabut headset. Suara berhenti. Ah, telingaku lega. Aku berjalan menutup pintu sedikit, lalu masuk ke kamar.






Lembab dan agak dingin. Di atas dipan ada kasur tipis, bantal, dan beberapa jarik untuk selimut. Sementara di sudut masih ada tumpukan baju bersih yang belum di lipat. Ku baringkan tubuhku di atas dipan, menata sedikit bantal, dan berselimut hingga dada. Tanganku bergerak mengipas-ngipas buku tipis. Dahiku sedikit berkeringat, tapi perasaan dingin dari kipasan lebih baik. Mataku memberat, setengah sadar buku tipis terlepas dari tanganku. Lembab tapi sedikit pengap.

Aku bermimpi mengenakan seragam SMP tapi malah menuju ke SD dengan sepeda kecil yang juga sering kupakai saat SD. Bukan pertama kali aku bermimpi tentang SD dan orang-orangnya, malah bisa dibilang sering. Kadang-kadang aku bertanya-tanya ada apa di SD sehingga aku sering memimpikannya bahkan saat tidak memikirkannya. Aku naik sepeda sendirian, jalanan sepi padahal langit sudah cerah. Sampai di sekolah ada banyak orang, teman atau adik sekelas, guru-guru, dan orang-orang yang nampak baru dan asing. Aku bergegas memarkirkan sepedaku.

"Seharusnya aku di SMP, kan?" gumamku. Guru dan siswa ada di kelas, semua bangku sudah penuh. Hanya aku dan teman sekelas yang diluar. Tidak ada tempat di dalam.

"As, ngapain disitu? Ayo kemari!" Begitu kira-kira ajakan salah seorang temanku. Aku ikut dia jajan di katin, meski harus timbang menimbang uang dengan barang, akhirnya aku membeli dua bungkus roti juga. Kami duduk-duduk di bawah pohon besar depan kelas enam, namanya akasia kalau tidak salah. Pohon itu penghasil biji coklat lonjong yang kami gunakan untuk main dakon. Saat meranggas itu juga menghasilkan ulat-ulat kecil, yang membuatku benar-benar tak mau duduk di sana. Saat ini pohon itu masih penuh dedaunan hijau dan bunga-bunga merah. Kami berbincang sedikit, dia orang yang supel.

"As, ini mimpi." Tiba-tiba ia berkata demikian.

"Mimpi?"

"Iya, mimpi dimana kau bisa melakukan hal-hal yang ada di otak kecilmu itu."

"Benar, kau benar. Lalu aku akan bangun." Dia mengangguk.

Tubuhku berat. Kelopak mataku tak bisa dibuka, tapi telingaku masih bisa menangkap suara. Walaupun tak terlalu jelas, kadang jauh kadang dekat, aku masih bisa menebak apa itu. Oh, aku ingat tadi itu mimpi, jarang ada yang memanggilku Aas saat SD kecuali beberapa guru. Lagipula aku tidak ingat punya teman seperti itu, tunggu, seperti apa wajahnya tadi? suara langkah lambat dan berat terdengar dari pintu rumah samping, itu nenekku. Lalu Ibu dengan langkahnya yang tergesa-gesa membuka pintu samping. Hujan tiba-tiba turun. Aku bisa mendengar teriakan ibu menyuruhku bangun untuk membantunya mengangkat jemuran. Meski agak susah, aku akhirnya bangun.

"Anak gadis kok bangun sore," celanya ketika menemukanku masih duduk setelah bangun tidur. "Harusnya kamu itu bangun dari tadi, jangan banyak tidur, bantu-bantu." Aku mengangguk-angguk. Buru-buru membantunya membawa pakaian yang setengah basah. Setelah menempatkannya aku kembali ke kamar. Sangat mengantuk. Hujannya deras, aku akan tidur sebentar saja. "Nun, kok tidur lagi. Bangun, ayo bangun!" suara Ibu meninggi tapi apa daya tubuhku tak bersahabat. Bahkan jari-jariku keberatan untuk bergerak.

"NUN!" bentakan terdengar beberapa kali di dekat dengan telingaku. Tidak, mungkin di dalam kepalaku. Mengganggu. Aku harus bangun. Apa-apaan! tubuhku serasa dikunci tidak bisa bergerak. Aku bahkan tak bisa membuka mulut. Beruntungnya tubuhku tak merinding, jika tidak bisa-bisa aku mati ketakutan. Ku biarkan tubuhku lebih rileks, menenangkan pikiranku. Perlahan mencoba membuka mata, sedikit demi sedikit menggerakkan tubuhku yang lain. Agak lama sebelum aku akhirnya benar-benar bangun.

Ku seka keringat di dahi, dada masih berdebar-debar, sementara itu si tangan kiri menyalakan layar hp. Tubuhku sakit semua mungkin salah pose pas tidur. Jam setengah dua siang. Kamarku agak gelap, diluar hujan turun entah dari dan sampai kapan, mengingat itu cukup deras disertai angin. Jemuran sudah diangkat semua. Tidak, pagi tadi sudah tidak ada jemuran di luar dan aku juga belum mencuci lagi.

"Nun, salat!" suara ibu menyentakku.

"Iya, sebentar lagi," jawabku.


Oh, ternyata tadi aku masih di alam mimpi. Mulai saat ini aku tidak akan pernah tidur melangkahi dzuhur, emm, kecuali terpaksa.


Oleh : Aas Ainun Mukti


Posting Komentar

0 Komentar