MEMBANGUN PENDIDIKAN INKLUSIF-MULTIKULTURAL
MELALUI PENINGKATAN EMOTIONAL-SPIRITUAL QUOTIENT (ESQ)
Disusun Oleh:
Dr. Mohamad Yasin Yusuf, M.Pd.I.
NIP. 19830614 200901 1 011
Guru PAI-BP SMAN 1 Pakel
NIM: 1330016015
Abstraksi
Dalam kehidupan ini, banyak sekali terdapat keberagaman identitas, baik multietnis, multibahasa, multireligi, multiras dan multikultural, yang memiliki corak yang berbeda-beda dan tidak akan dapat dipersamakan. Dalam perbedaan tersebut, maka sikap inklusif yaitu sikap saling menghormati mutlak di perlukan dan sebaliknya sikap eksklusif dengan sikapnya yang mengklaim kebenaran atas diri sendiri, suka menyalahkan dan enggan untuk berdialog dengan yang lain haruslah dihindari. Membangun paradigma pendidikan yang inklusif dapat dilakukan melalui pengajaran agama dengan aktifitas keagamaan seperti dzikir, ibadah dan amaliyah keagamaan yang bersifat sosial seperti ukuwah, karena ajaran dzikir dan amalan agama yang lain tersebut, akan dapat menumbuhkan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) yang akhirnya akan membawa kemanfaatan dalam membimbing pengikutnya memiliki kesalehan personal dan kesalehan sosial. Dengan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient) tersebut maka akan tumbuh sikap toleran, sikap saling menghormati, empati tinggi serta memiliki ketrampilan dan kecakapan sosial dalam berhubungan dengan diri sendiri, orang lain serta dengan Tuhannya. Sikap seperti ini sangatlah diperlukan dalam kehidupan yang multikultural. Pendidikan yang memiliki paradigma inklusif-multikultural seperti ini haruslah terus dikembangkan. Dengan paradigma yang inklusif maka akan meniadakan bibit-bibit fundamentalisme, radikalisme, agresivisme, konflik antar agama bahkan terorisme.
A. Latar Belakang Masalah
Munculnya komunitas Islam aliran keras dengan doktrin-doktrinnya yang lebih bersifat eksklusif dan senantiasa menyalahkan golongan yang berada diluarnya, telah memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap stabilitas dan keharmonisan masyarakat beragama di tanah air. Penyerangan pada kelompok tertentu, fanatisme, dan kebencian, bahkan penyebaran dan melegitimasi kekerasan dan konflik berdarah sehingga agama sering disalahgunakan untuk tujuan yang mereka anggap sebuah kebenaran.1 Masih segar dalam ingatan peristiwa besar seperti bom Bali,2 konflik Poso, kasus kekerasan Suni-Syiah di Sampang dan fenomena kekerasan lain di berbagai daerah yang mengatasnamakan agama dengan dalih dengan jihad fi sabilillah.
Fenomena Islam aliran keras ini menjadi kekhawatiran bangsa Indonesia terlebih para pemuka Islam sendiri. Pemahaman yang kurang tepat yang selanjutnya diaktualisasikan melalui tindakan disdruktif yang tidak hanya menyasar non muslim namun sebagian umat Islam juga menjadi korban kebiadaban ini.3 Sementara untuk kalangan umat Islam yang lain, tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut telah mencederai Islam yang mengemban misi perdamaian dan kasih sayang bagi semesta alam.
Paradigma beragama yang ekslusif dan tidak adanya kesadaran memaknai keberagaman yang telah ditorehkan dalam ke-bhineka tuggal ika-an ditelerai merupakan sebagian faktor yang mendorong pada sikap radikalisme bahkan terorisme. Konfil antar umat seagama ataupun antar umat beragama sebenarnya terjadi karena tidak adanya kesadaran akan eksistensi pihak lain, mereka selalu menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, hanya golongan dan ajarannya sajalah yang paling benar sedangkan pihak lain berada dalam posisi yang salah. Hanya golongan keagamaan yang dianutnya saja yang benar. Sementara golongan atau agama lain dianggap salah. Sikap eksklusif ini oleh para pemerhati studi agama disebut “truth manusia adalah sebuah fakta sosial yang tidak dapat di pungkiri. Semua pihak haruslah menyadari bahwa di muka bumi ini terdapat keberagaman identitas, baik multietnis, multibahasa, multireligi, multiras dan multikultural, yang memiliki corak yang berbeda-beda dan tidak akan dapat dipersamakan. Oleh karena itu setiap orang dan setiap golongan keagamaan haruslah mau mengakui keberadaan pihak lain dan mau menghormati perbedaan yang ada. Kesadaran untuk mau mengakui dan menghormati eksistensi golongan lain tersebut adalah sikap inklusif-multikultural yang harus dikembangkan dalam kehidupan yang serba multi tersebut.
Salah satu cara dalam pengembangan sikap inklusif-multikultural adalah dengan meningkatkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual atau ESQ (Emotional-Spiritual Quotient). Dengan tumbuhnya kecerdasan emosional (Emotional Quotient), maka seseorang akan memiliki sikap empati, mampu mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivi diri sendiri, dan kemampuaan mengelola emosi yang baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain4. Sedangkan dengan berkembangnya kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient), maka seseorang akan mampu bersifat dan perilaku takwa kepada Allah SWT, yang di buktikan dengan amal sholeh baik dalam hubungan dengan sesama maupun dalam hubungan dengan pencipta.5
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pentingnya pengembangan pendidikan yang memiliki paradigma inklusif-multikultural?
2. Bagaimanakah membangun pendidikan inklusif-multikultural melalui peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Mengetahui pentingnya pengembangan pendidikan yang memiliki paradigma inklusif-multikultural.
2. Mengetahui cara membangun pendidikan inklusif-multikultural melalui peningkatan ESQ (Emotional-Spiritual Quotient).
Pembahasan lebih lanjut silakan baca pada file berikut ini:
Anda juga dapat memperoleh file tersebut di sini.
Selamat membaca semoga bermanfaat dan menginspirasi kawan guru hebat!
Penulis :
0 Komentar