Advertisement

PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKTIF DALAM HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS

PARADIGMA INTEGRATIF-INTERKONEKTIF
DALAM HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS

Dr. Mohamad Yasin Yusuf, M.Pd.I.
SMAN 1 PAKEL
Email. mohamadyasinyusuf83@gmail.com

Abstraksi

Saat ini umat manusia berada pada zaman modern, di mana permasalahan umat manusia semakin kompleks. Oleh karena itu penguasaan semua bidang keilmuan, termasuk penguasaan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi sangat mutlak diperlukan. Akan tetapi dalam kenyataannya mayoritas umat Islam masih memiliki anggapan bahwa sains dan agama tidak dapat dipertemukan. Dalam artian sains dan agama selalu dalam hubungan konflik ataupun independensi dan tidak dapat melakukan hubungan lebih dialogis maupun integratif. Anggapan inilah yang menyebabkan umat Islam tertinggal jauh dari Barat dalam penguasaan sains dan teknologi. Dari permasalahan ini, maka menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan hubungan yang hendaknya dibangun oleh agama dan sains. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan) dengan analisis deskriptif dan content analysis. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi yang hendaknya dibangun oleh agama dan sains adalah corak interaksi yang bersifat integratif-interkonektif. Di mana semua gugusan keilmuan baik agama maupun sains memiliki sikap saling kerjasama, saling tegur sapa, merasa saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antar semua disiplin keilmuan. Melalui langkah ini akan dapat membantu memahami kompleksitas kehidupan umat manusia dan juga dapat memecahkan persoalan yang sedang dihadapinya.

Abstract Nowadays human beings are in modern times, in which the more complex human problems. Therefore, the mastery of all disciplines, including the mastery of science, science and technology is absolutely necessary. However, in reality the majority of Muslims still have the notion that science and religion can not be met. In the sense that science and religion are always in a relationship of conflict or independence and can not do more dialogical relations and integrative. The presumption is why Muslims lag behind the West in the mastery of science and technology. Of this problem it is interesting to do further research related to what kind of relationship should be established by religion and science. This research uses research library research (library research) with descriptive analysis and content analysis. From these studies we can conclude that the interaction should be established by religion and science is a pattern of interaction that is both integrative-interkonektive. Where all scientific clusters both religion and science have mutual cooperation, mutual courtesies scolds, feeling mutual need, mutual correction and interconnectedness between disciplines. It is more able to help people in understanding the complexity of the life she lived and solve the problems that it faces.

Kata Kunci: Integrasi Agama dan Sains, integratif-interkonektif.

A. Latar Belakang

Agama merupakan seperangkat tata nilai yang memiliki tujuan untuk mengarahkan perkembangan manusia menuju ke arah yang lebih baik, baik itu dalam kehidupan di dunia maupun dalam kehidupan di akherat. Agama memberikan pengetahuan tentang tujuan, dan bagaimana cara hidup. Agama dengan kitab sucinya berfungsi sebagai penerang. Islam sebagai agama diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai “rahmatan lil alamin” atau rahmat bagi seluruh alam, baik untuk manusia maupun elemen alam yang selain manusia. Islam sebagai agama mencakup berbagai macam norma, tata nilai dan ajaran. Semua tata nilai itu pada hakikatnya untuk menghantarkan para pemeluknya untuk dapat bahagia dalam kehidupan di dunia maupun di akherat.

Al Qur’an merupakan kitab suci dan memberikan pengaruh yang begitu besar, luas dan mendalam terhadap jiwa dan tindakan umat Islam. Al Quran memberikan dorongan, spirit dan motivasi kepada umat manusia untuk melakukan pengembangan dalam berbagai lingkup kehidupan, termasuk dalam hal ini salah satunya adalah pengembangan berbagaimacam ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, ilmu sosial, ilmu pasti, maupun cabang ilmu pengetahuan yang lainnya demi menuju pada kehidupan yang lebih baik. Pengaruh dari ajaran Al Qur’an inilah yang akhirnya membawa agama Islam dan umat Islam mudah sekali tersebar ke seluruh belahan dunia, bahkan mampu menghantarkan kepada kemajuan dan peradaban dunia pada periode awal dan pertengahan kejayaan Islam.

Akan tetapi hingga kini masih kuat anggapan dari masyarakat luas, bahwa agama dan ilmu pengetahuan adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Dengan ungkapan yang lain bahwa ilmu tidak memperdulikan agama, dan agama tidak memperdulikan ilmu. Keduanya tidaklah saling tegur

3

sapa, bahkan yang terjadi kadang keduannya saling mencurigai. Apa yang terjadi selama ini adalah dikotomi yang cukup tajam antara keilmuan “sekuler” dan keilmuan “agama”. Keduanya seolah mempunyai wilayah sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada model pendidikan di Indonesia yang memisahkan antara kedua jenis keilmuan ini. Ilmu-ilmu sekuler dikembangkan di perguruan tinggi umum sementara ilmu-ilmu agama dikembangkan di perguruan tingga agama. Perkembangan ilmu-ilmu sekuler yang dikembangkan oleh perguruan tinggi umum berjalan seolah tercerabut dari nilai-nilai akar moral dan etik kehidupan manusia, sementara itu perkembangan ilmu agama yang dikembangkan oleh perguruan tinggi agama hanya menekankan pada teks-teks Islam normative, sehingga dirasa kurang menjawab tantangan zaman. Jarak yang cukup jauh ini kemudian menjadikan kedua bidang keilmuan ini mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi perkembangan kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik dan keagamaan di Indonesia. Singkatnya, terjadi proses dehumanisasi secara massif, baik pada tataran keilmuan maupun keagamaan.

Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim untuk berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama sebagaiman yang telah dilakukan para cendekiawan Muslim era pertengahan, sehingga membawa kemajuan Islam dalam berbagai aspeknya. Berangkat dari pemikiran yang pernah disampaikan oleh Ian G. Barbour, bahwa setidaknya ada 4 pola hubungan antara agama dan ilmu, yaitu Konflik (bertentangan), Independensi (masing-masing berdiri sendiri-sendiri), Dialog (berkomunikasi) atau Integrasi (menyatu dan bersinergi), maka menurut Amin Abdullah argumen yang hendak diajukan adalah bahwasanya hubungan antara agama, dalam hal ini Ulumu al-din (ilmu-ilmu agama Islam) dan ilmu, baik ilmu kealaman, sosial maupun budaya meniscayakan corak hubungan yang bersifat dialogis, integratif, menyatu dan bersinergi1.

Hubungan antara ilmu, sains dan agama tidaklah dibatasi oleh tembok/dinding tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat atau terpisah sedemikian ketat dan rigidnya, melainkan saling menembus, saling merembes dan saling menyapa. Saling menembus secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan antar berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling menembus dan saling menyapa ini dapat bercorak klarifikatif, komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif maupun transformatif.

B. Metodologi Penelitian

Dari latar belakang yang telah peneliti jelaskan tersebut, maka menarik untuk dilakukan pembahasan lebih mendalam terkait dengan hubungan antara agama dan sains yang hendaknya dibangun di era post-modern ini, terutama terkait dengan pola interaksi melalui paradigma integratif-interkonektif. Kajian ini adalah library research (penelitian kepustakaan), yaiu penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku, catatan, maupun aporan hasil penelitian dari penelitian terdahulu.2 Dengan menggunakan analisis deskriptif dan content analysis (analisis isi).3

Sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah bukunya Amin Abdullah yang berjudul Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, juga dari artikel beliau terkait dengan kajian integratif-interkonektif, selain itu buku Ian G Barbour, tentang Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama (When Science meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners). Sedangkan data sekundernya adalah berbagai macam buku dan literatur lain yang dapat menunjang penulisan ini baik yang terkait langsung maupun tidak langsung.

C. Pengertian Agama dan Sains

1. Pengertian Agama

Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologi) dan sudut istilah (terminologi). Pengertian agama dari sudut kebahasaan akan sangat mudah diartikan daripada pengertian dari sudut istilah, karena pengertian dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subyektivitas dari orang yang mengartikannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata agama berarti prinsip kepercayaan kepada Tuhan.4 Kata agama juga berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas, nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan. Dalam pengertian dari bahasa sansekerta tersebut juga berarti adanya “keteraturan”. Dimensi keteraturan ini tidak hanya berkaitan dengan individu tetapi juga dengan kelompok. Dimensi keteraturan itu juga tidak hanya diperuntukkan bagi keteraturan hidup masa sekarang, akan tetapi juga keteraturan masa yang akan datang bahkan dari hidup sampi mati dan setelah mati.

Kata agama juga diucapkan oleh orang Barat dengan religios (bahasa latin), religion (bahasa Inggris, Perancis, Jerman) dan religie (bahasa Belanda).6 Kata dalam bahasa latin tersebut berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dan kata mengikat ini adalah aturan-aturan main yang harus dijalankan, dipatuhi, ditaati oleh para penganut agama tersebut.7 Dalam pengertian religios termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.8 Dari beberapa definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa intisari yang terkandung dari istilah-istilah diatas adalah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mengandung pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan ini berasal dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Suatu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra.

Dan dari beberapa defenisi tersebut diatas, maka dapat diambil karakteristik Agama sebagai berikut:

1. Unsur kepercayaan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk yang bertacam-macam. Dalam Agama primitif kekuatan gaib tersebut dapat mengambil bentuk benda-benda yang memiliki kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang terdapat dalam benda-benda yang memiliki kekuatan misterius (dewa). Kepercayaan akan adanya Tuhan adalah dasar yang utama sekali dalam paham Agama. Tiap-tiap Agama kecuali Budaisme yang asli dan beberapa Agama yang lain berdasar atas kepercayaan pada suatu kekuatan gaib, dan cara tiap-tiap hidup manusia yang percaya pada Agama di dunia ini amat rapat hubunganya dengan kepercayaan tersebut,

2. Unsur kepercayaan bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia ini dan di akhirat nanti tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib yang dimaksud. Dengan hilangnya hubungan yang baik itu kesejahteraan dan kebahagiaan yang dicari akan hilang pula. Hubungn baik ini selanjutnya diwujudkan dalam bentuk peribadatan, selalu mengingatnya, melaksanakan segala perintahnya dan menjaihi larangannya.

3. Unsur respon yang bersifat emosional dari manusia. Respon tersebut dapat mengambil rasa takut, seperti yang terdapat pada Agama primitif, atau perasaan cinta seperti yang terdapat pada Agama-Agama monoteisme. Selanjutnya respon tersebut dapat pula mengambil bentuk dan cara hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.

4. Unsur paham adanya yang sacred dan suci, dalam bentuk kekuatan gaib, dalam bentuk kitab suci yang mengajarkan ajaran Agama yang dersangkutan, tempat-tempat tertuntu, peralatan untuk menyelenggarakan ibadah dan sebagainya.

Dan seterusnya.

Untuk lebih lengkapnya silakan baca pada file berikut ini :



Anda juga dapat memperoleh file tersebut di sini.

Selamat membaca semoga bermanfaat dan menginspirasi kawan guru hebat!


Penulis :



Posting Komentar

0 Komentar