Advertisement

PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-MULTIKULTURAL DALAM PERSPEKTIF TEORI GESTALT

PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF TEORI GESTALT

Oleh:
Oleh: Dr. Mohamad Yasin Yusuf, M.Pd.I
NIP. 198306142009011011
Guru PAI-BP SMAN 1 Pakel

Abstract

Islamic education has been more annunciated is dominated by shades of inherited construction of classical-scholastic epistemology, the less an appreciation of the dynamics and development of life is increasingly complex and diverse. So that eventually spawned education often exclusive product-destructive. Many religious groups have the ideology that leads to the truth claims of excessive unilateral, exclusive, and excessive. This is where the need to develop a paradigm that is inclusive-multicultural education, which is the process of developing the full potential of human beings who value plurality and heterogeneity as a consequence of the diversity of cultural, ethnic, tribal and flow (religion). Here gestalt theory can be used as a surgical glasses in viewing the problem, according to the gestalt theory of diversity is a part / piece of totality it must be construed as a whole, it should not be simply interpreted in bits and pieces. Overall would be more meaningful than just a piece or pieces that are not obscure. Therefore, understanding the life of a pluralistic inclusive and pluralistic, will be giving the meaning of the understanding that exclusive.

A. Pendahuluan

Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, dan terakhir kasus kekerasan pada jamaah aliran Syiah di Sampang Madura seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam. Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa, tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah. Bila kita amati, nilai etis universal dari agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini.

1

Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran ummat manusia1.

Kekacauan yang terjadi dalam tubuh agama tersebut sebenarnya terjadi karena tidak adanya kesadaran akan eksistensi pihak lain, mereka selalu menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar, hanya golongan dan ajarannya sajalah yang paling benar sedangkan pihak lain berada dalam posisi yang salah. Klaim-klaim sepihak seringkali muncul berkaitan dengan kebenaran suatu paham atau agama yang dipeluk oleh seseorang atau masyarakat. Bahwa hanya agama yang dianutnya saja atau agama tertentu saja yang benar. Sementara agama lain tidak dianggap benar.sikap eksklusif ini oleh para pemerhati studi agama disebut “truth claim”. Pemahaman yang bersifat parsial tersebut akan memunculkan klaim-klaim sepihak dari mereka yang menyatakan diri mukmin dan muslim yang sejati, dan hal tersebut akan menempatkan segala pihak diluar mereka sebagai ancaman terhadap keberimanan dan keislaman tersebut. Dunia sosial kemudian mereka bagi hanya menjadi dua wilayah: antara mereka yang kafir dan mereka yang muslim2. Kemudian mereka menganggap bahwa entitas diluar mereka adalah kafir dan halal darah serta harta benda mereka. Inilah realitas sifat eksklusif yang muncul dalam aliran-aliran agama yang memiliki “truth claim” ajaran tersebut.

Sementara dalam realitasnya, terdapat beragam agama dan keyakinan yang berkembang di masyarakat. Pluralitas agama, keyakinan dan pedoman hidup manusia adalah sebuah fakta sosial yang tidak dapat di pungkiri. Semua pihak haruslah menyadari bahwa di muka bumi ini terdapat keberagaman identitas, baik multietnis, multibahasa, multireligi, multiras dan multikultural, yang memiliki corak yang berbeda-beda dan tidak akan dapat dipersamakan. Dan dalam kehidupan yang serba multi, termasuk multireligi tersebut, setiap kepercayaan keagamaan memiliki hak untuk mempunyai pandangan masing-masing yang berbeda, dan mereka memiliki hak untuk terus hidup dan untuk dihormati dengan pandangan hidup yang sudah mereka pilih tersebut. Oleh karena itu setiap orang dan setiap golongan keagamaan haruslah mau mengakui keberadaan pihak lain dan mau menghormati perbedaan yang ada. Kesadaran untuk mau mengakui dan menghormati eksistensi golongan lain tersebut adalah sikap inklusif-multikultural yang harus dikembangkan dalam kehidupan yang serba multi tersebut.

Salah satu upaya menumbuhkan kesadaran untuk memiliki sikap pluralis ini adalah memalui pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu media yang paling efektif untuk melahirkan generasi yang memiliki pandangan yang mampu menjadikan keragaman sebagai bagian yang harus diapresiasi secara konstruktif3. Pendidikian Islam dengan paradigma inklusif-Multikultural, menjadi kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera dirumuskan dan didesain dalam proses pembelajaran. Bagiamanpun juga, pendidikan semacam itu memiliki konstribusi dan nilai yang signifikan untuk membangun pemahaman dan juga kesadaran terhadap substansi dan nilai-nilai pluralitas dan multikultural.

Maka dari itu, salah satu upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara penganut beragama, adalah melalui pendidikan yang inklusif-multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuh kembangkan kearifan pemahaman, kesadaran sikap dan perilaku (mode of action) peserta didik terhadap keragaman agama, budaya, dan masyarakat. Tentu saja pendidikan inklusif-multikultural di sini tidak sekedar membutuhkan “pendidikan agama”, melainkan juga “pendidikan religuisitas”. Pendidikan religuisitas mengandung arti pendidikan yang tidak sebatas mengenalkan peserta didik ajaran agama yang dianutnya, melainkan juga mengajarkan penghayatan visi kemanusiaan ajaran agama tersebut (teaching about religion and teaching about being religious). Selain itu penting untuk memasukkan suatu perspektif baru dalam pendidikan Islam, yaitu pendekatan komplementer yang secara serius memberikan prioritas pada perspektif para penganut agama (insider). Pendekatan insider pada intinya menyertakan suatu empati yang ketat, yang berusaha menjadikan apa yang dipahami dan dialami oleh para penganut suatu agama dapat dipahami oleh orang luar, dan dengan demikian menghasilkan pemahaman empatis yang netral dan tidak menilai (dengan menangguhkan imajinasi tidak percaya), terpisah dari reaksi-reaksi dan penilaian-penilaian subyektif kita sendiri5.

Pendekatan dalam pendidikan yang seperti itulah yang juga dapat dijelaskan memalui teori “gestalt”. Dalam perspektif teori gestalt, misalnya ketika seseorang melihat sebuah objek gambar, maka sesungguhnya orang tersebut tidak pernah “melihat”, melainkan selalu dalam keadaan “melihat sebagai”. Dalam artian senantiasa menafsirkan dan menginterpretasikan apa yang dilihat agar mampu melihatnya, kemudian menceritakan kembali apa yang pernah dan sedang dilihat, menurut perspektif mereka sendiri sesuai dengan pengalaman, karakter, gaya hidup dan sudut pandang masing-masing, dan inilah yang selalu menyebabkan selalu adanya perbedaan penafsiran dan perspektif dalam melihat sesuatu pada setiap orang. Orang melihat apa yang bisa ia lihat, bahkan sebenarnya orang hanya melihat apa yang ingin ia lihat. Pilihan kata “bisa” dan “ingin” menunjukkan bahwa cara pandang setiap orang ataupun setiap peneliti terhadap sebuah kajian sebenarnya mengidap subjektivitas dari para pelakunya masing-masing6.

Sikap pandangan subjektifitas inilah yang menjadikan pemahaman seseorang menjadi sepotong-sepotong dan tidak mampu melihat secara totalitas atas suatu kajian, dan ketika muncul dalam tubuh golongan-golongan agama yang fundamentalis, misalnya dalam menafsirkan sebuah ayat akan menumbuhkan faham “truth claim”, dan dengan pandangan tersebut maka akan memunculkan klaim takfir dan penghalalan darah serta harta dari orang lain yang berbeda dengan fahamnya tersebut. Berikut adalah contoh sebuah ayat dalam al-Qur’an yang dalam setiap golongan dalam menafsirkan satu ayat saja mereka mengalami perbedaan penafsiran yang sangat jauh. Ayat tersebut berbunyi, “Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum) berdasarkan apa yang telah diturunkan (ditentukan) oleh Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang yang kafir.”7, ayat yang lain mengatakan “mereka adalah golongan orang-orang yang Dzalim”8, dan ayat yang lain mengatakan “mereka adalah golongan orang-orang yang fasik”9. Dalam ayat tersebut terdapat kata-kata Kafir, Dzalim, Fasik, yang kata tersebut dipahami memiliki arti sama dengan sesat, maka tempat kembalinya kelak adalah neraka. Mengerikan sekali, bukan? Karena neraka mengerikan, wajarlah bila tak ada satu pun di antara kita yang sudi untuk menujunya.

Dalam pemahaman terhadap ayat sejenis itu, jika penafsiran ayat tersebut dibawa ke ranah politik, maka tidak sedikit dari umat Islam yang membangun doktrin bahwa adalah wajib hukumnya untuk menegakkan Negara Islam. Mereka yang menolak doktrin ini berarti ingkar Al-Qur’an. Namun, di sisi lain, juga lahir kelompok yang tegas menolak doktrin tersebut, dengan menyatakan bahwa apa yang dibangun Rasulullah di Madinah bukanlah sebuah formulasi Negara Islam Madinah. Jika Rasulullah saja tidak membentuk Negara Islam, maka atas dasar apa umat Islam harus membangun Negara Islam, apalagi di antara entitas kultural dan sosialnya yang beragama? Kalangan ini lalu memilih untuk menafsirkan ayat tersebut secara substansial- kontekstual.

Karakter mazhab politik Islam yang seperti itu, sepenuhnya berpangkal (salah-satunya) kepada ayat tersebut. Pertanyaannya, mengapa satu ayat memicu begitu banyak perbedaan mazhab? Apa sebenarnya yang melatari meletupnya perbedaan-perbedaan tersebut, yang dalam ranah praktisnya akan sangat sering membuncah dan menimbulkan ketegangan konflik? Apakah perbedaan-perbedaan tersebut akan terus menimbulkan polemik yang berkepanjangan dalam tubuh umat Islam? Dan bagaimanakah cara membangun sebuah konsep “ikhtilafu ummati rahmatun” atau dalam artian perbedaan-perbedaan dikalangan umat adalah rahmat bukan sebaliknya menjadi musibah dan perpecahan umat?

Inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Sikap keagamaan yang memiliki faham yang mengarah pada truth claim sepihak yang berlebihan, eksklusif, dan eksesif inilah yang perlu diwaspadai dalam kehidupan yang penuh keberagaman identitas, baik multietnis, multibahasa, multireligi, multiras dan multikultural. Oleh karena itu pendidikan inklusif-multikultural mutlak diperlukan dan ditanamkan dalam jiwa peserta didik. Dan dalam makalah ini akan dibahas mengenai pendidikan Islam inklusif-multikultural dalam perspektif teori gestalt.

Pembahasan lebih lanjut dalpat anda baca selemhkapmya, di bawah ini : 



Anda juga dapat memperoleh file tersebut di sini.

Selamat membaca semoga bermanfaat dan menginspirasi kawan guru hebat!


Penulis :



Posting Komentar

0 Komentar