Advertisement

AKULTURASI ISLAM DENGAN ETNIS JAWA

 AKULTURASI ISLAM DENGAN ETNIS JAWA

Dr. Mohamad Yasin Yusuf, M.Pd.I
Guru PAI-BP SMAN 1 Pakel
Email. mohamadyasinyusuf@ymail.com

Abstract

The intersection of Islamic law and has certain norms with the Javanese who also has a culture and certain norms as well, causing acculturation Islam with Javanese culture, and hence the possibility of the formation of a new culture that has never existed before. Islam is accommodating attitude is absolutely necessary in conjunction with other cultures. Without the accommodating attitude of the two different norms may not be able to acculturated and peaceful coexistence, mutual fill even create a new culture. Islam and Javanese when the meeting did not lead to the teachings of syncretism as said Clifford Geertz, Beatty, Radam, and Erni Budiawanti, but in fact the theory of acculturation offered by Woodward, Muhaimin and Nursyam is a theory that can be used to explain the phenomenon of religious acculturation in Java. Of acculturation Islam and Javanese culture, then bring the new culture like never before slametan, ruwatan, wayang, sekaten, grebeg, kupatan, suronan and others. In this way Islam can acculturated well and can eventually evolve in the Java community.

Kata Kunci: Akulturasi, Islam, Etnis Jawa.

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia, agama dan budaya jelas tidak berdiri sendiri-sendiri, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya, selaras dalam menciptakan ataupun kemudian saling menegasikan. Agama diciptakan oleh Tuhan berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan kebudayaan sebagai kebiasaan tata cara hidup manusia yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dari hasil daya cipta, rasa dan karsanya yang diberikan oleh Tuhan.

Agama dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain. Agama mempengaruhi kebudayaan, kelompok, masyarakat, suku atau bangsa.

2

Kebudayaan cenderung mengubah-ubah keaslian agama sehingga menghasilkan penafsiran berlainan. Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini, sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif. Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama Islam, ataupun agama Hidu, Budha, dan Kristen memiliki corak dan warna yang bermacam-macam disetiap tempat.1

Seiring dengan perkembangan zaman, pola pikir manusia dan kemajuan peradaban maka kondisi manusia juga selalu mengalami perubahan dan perkembangan menuju arah yang lebih baik. Agama merupakan seperangkat nilai-nilai yang juga memiliki tujuan untuk mengarahkan perkembangan manusia menuju ke arah yang lebih baik tersebut, baik itu dalam kehidupan di dunia maupun dalam kehidupan di akherat. Agama memberikan pengetahuan tentang tujuan, dan bagaimana cara hidup. Agama dengan kitab sucinya berfungsi sebagai penerang. Agama ibarat sebagai obor, yang mampu menerangi dalam kegelapan. Orang yang ada dalam kegelapan akan banyak mengalami hambatan-hambatan dalam mencapai tujuan hidupnya, karena tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang harus dihindari. Orang yang beroborkan agama akan lebih bisa menempuh jalan yang benar, dan akan bisa lebih cepat berjalan menuju tempat tujuan, yaitu kesejahteraan di dunia dan kebahagian di akherat. Dan ketika tata norma agama ini disinggungkan dengan budaya suatu daerah tertentu yang sebelumnya telah memiliki tata nilai tersendiri, maka akan membentuk tata nilai tersendiri yang khas dari persinggungan kedua tata nilai yang berbeda tersebut.

Indonesia merupakan salah satu tempat bersinggungan berbagai macam budaya, etnis dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi sering

1 Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 62.

3

nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya. Sebut saja misalnya budaya Islam Jawa. Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan Islam lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu diantara yang lain. Persinggungan antara Islam yang memiliki norma-norma yang harus ditaati pemeluknya, dengan etnis Jawa yang juga telah berbudaya dan memiliki norma tersendiri pula, menyebabkan adanya akulturasi budaya, dan mungkin terjadi pembentukan budaya baru yang belum pernah ada sebelumnya.

B. Agama

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas, nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan. Dalam pengerttian dari bahasa sansekerta tersebut juga berarti adanya “keteraturan”. Arus utama manusiapun sepakat bahwa agama merupakan perwujudan dari keteraturan hidup yang dilakukan oleh manusia. Dimensi keteraturan ini tidak hanya berkaitan dengan individu tetapi juga dengan kelompok. Dimensi keteraturan itu juga tidak hanya diperuntukkan bagi keteraturan hidup masa sekarang, akan tetapi juga keteraturan masa yang akan datang bakhan dari hidup sampai mati dan setelah mati. 

Pengertian yang seperti itu juga terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dan kata mengikat ini adalah aturan-aturan main yang harus dijalankan, dipatuhi, ditaati oleh para penganut agama tersebut. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19.5 Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Agama dalam berbagai perspektif dan penafsiran kontemporer lebih tercermin sebagai agama yang dimaknai secara substansial esensial. Agama ditafsirkan berdasarkan esensi-esensi atau muatan-muatan nilai yang berada dalam intisari agama tersebut. Ada juga sekelompok yang menafsirkan makna agama sebagai fenomena kontroversial dari eksistensi agama tersebut. Ambillah contoh sebagaimana yang dikatan oleh Ludwig Feuerbach, yang mengatakan bahwa agama merupakan alat psikologi yang digunakan untuk menggantungkan harapan, kebaikan dan ideal-ideal yang kita rancang sendiri. Lalu semua harapan dan idealisme kita tersebut diserahkan kepada kekuatan supranatural yang oleh mereka disebut Tuhan. Apa yang dikemukakan ini langsung ataupun tidak langsung akan mengecilkan eksistensi manusia.

Dan seterusnya, silakan baca di bawah ini !




Anda juga dapat memperoleh file tersebut di sini.

Selamat membaca semoga bermanfaat dan menginspirasi kawan guru hebat!


Penulis :



Posting Komentar

0 Komentar