Advertisement

PENDIDIKAN KRITIS : SEBUAH LANGKAH PEMBERDAYAAN

 PENDIDIKAN KRITIS :
SEBUAH LANGKAH PEMBERDAYAAN

Oleh:
Dr. Mohamad Yasin Yusuf, M.Pd.I
Guru PAI-BP SMAN 1 Pakel
Email. mohamadyasinyusuf@ymail.com


Abstract

Many reality in the field shows that the field of education disoriented as a result of global influences. Education was developed on the premise positivism as objectivity, empirical, impartially on the learner, is the object of study (detachment), rational and value-free. Even as though education can not be free from political interests or free from economic and social system perpetuate existing power. Education is no more as a means to "reproduce" the system and unjust social structures such as the system class relations, gender relations, racism relations or other relations system. When in fact education is the process of "production" critical consciousness, as awareness of class, gender awareness, as well as other critical awareness. Therefore, education should be able to be a means to "produce" self awareness to restore human beings to be able to live fully and completely and in this regard the role of education to raise critical awareness as a prerequisite for the liberation effort.

Kata Kunci: Pendidikan Kritis, Pemberdayaan.

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan faktor penting, strategis dan determinatif (kebulatan tekat utk maju) bagi masyarakat. Maju-mundurnya kualitas peradaban suatu masyarakat/bangsa sangat bergantung pada bagaimana kualitas pendidikan diselenggarakan oleh masyarakat. Sejarah membuktikan bahwa hanya bangsa-bangsa yang menyadari dan memahami makna strategisnya pendidikanlah yang mampu meraih kemajuan dan menguasai dunia. Bagaimana pun, pendidikan merupakan alat terefektif bagi perubahan dan pencapaian kemajuan dalam berbagai dimensi kehidupan.

Dilihat dari perspektif kebudayaan, pendidikan merupakan upaya sivilisasi dan enkulturisasi. Dari perspektif politik, pendidikan dipandang sebagai langkah untuk membentuk warga negara yang baik (good citizen) warga yang taat aturan, beradab, bertanggung jawab, dan memahami hak dan kewajiban secara proporsional. Kemudian secara ekonomi, adalah jelas bahwa pendidikan merupakan “human capital investment”. Pengetahuan, keterampilan, dan etos kerja yang dibentuk melalui proses pendidikan berkorelasi positif bagi peningkatan penghasilan dan kesejahteraan. Karena itulah, perspektif ekonomi menyakini bahwa hanya lewat upaya pendidikan kesejahteraan ekonomi dapat dibangun. Kemudian dari perspektif filosofis, bahwa pendidikan merupakan upaya humanisasi yang sesungguhnya. Melalui pendidikan maka manusia dibentuk, dikonstruksikan dan diarahkan agar menjadi manusia sesungguhnya (humanized human being), makhluk rasional yang memiliki dan memahami nilai humanitas yang berlaku secara universal. Demikian pula, dari perspektif agama, pendidikan ditempatkan pada posisi tertingi karena fungsinya yang membentuk perilaku teratur sesuai ajaran Tuhan yang diimaninya.

Pendidikan saat ini banyak terpengaruh dari aliran filsafat positivisme. Penyelenggaraan pendidikan pada perspektif positivistik merupakan proses fabrikasi (pemalsuan) dan mekanisasi pendidikan untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan “pasar kerja “. Proses pembelajaran yang diselenggarakan juga tidak toleran terhadap segala bentuk “non positivistic ways of knowing‟ yang disebut sebagai tidak ilmiah. Pendidikan menjadi a-historis, yakni mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variable dalam model tersebut. Para siswa harus tunduk pada struktur yang ada dan mencari cara-cara dimana peran, norma, dan nilai-nilai yang dapat diintegrasikan dalam rangka melanggengkan system tersebut. Asumsi yang melandasi pendidikan itu adalah bahwa tidak ada masalah dalam system yang ada, masalahnya terletak pada sikap mental, pengetahuan dan keterampilan siswa belaka, termasuk kreativitas, motivasi, keahlian teknis pemelajar. Oleh karena itu dalam perspektif positivisme, pendidikan lebih dimaksudkan untuk mengembangkan kecerdasan, keterampilan, dan keahlian siswa, sementara komitmen, keyakinan, kesadaran terhadap sistem yang lebih adil dan motivasi untuk menantang struktur sosial yang ada tidak dilakukan, namun lebih sibuk memfokuskan pada bagaimana membuat sistem yang

2

ada itu dapat bekerja.1

Proses pendidikan tidak dilakukan atas dasar analisis struktural tentang lokasi pemihakan. Tanpa visi dan pemihakan yang jelas, pendidikan sulit diharapkan menjadi institusi kritis untuk pembebasan dan perubahan sosial. Pendidikan juga perlu melakukan identifikasi issues strategis dan menetapkan visi dan mandat mereka sebagai pendidikan untuk pemberdayaan. Tanpa pemihakan, visi, analisis dan mandat yang jelas, pendidikan tanpa disadari telah menjadi bagian dari “status quo‟ dan ikut melanggengkan ketidakadilan. Bahkan tanpa pemihakan yang jelas, pendidikan hanyalah menjadi alat penjinakan atau alat hegemoni dari sistem dan ideologi kelompok tertentu.

Sementara itu ada pandangan yang kuat dari pendidikan radikal, bahwa pendidikan pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Pendidikan tidak lebih sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun system relasi lainnya. Pandangan semacam ini dikenal dengan teori “reproduksi‟ dalam pendidikan. Disisi lain ada pandangan lain yang berangkat dari asumsi dan keyakinan bahwa pendidikan adalah proses “produksi‟ kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran kritis lainnya. Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan merupakan proses membebaskan manusia. Pendirian kelompok ini berangkat dari asumsi, bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada pada dasarnya mengalami proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi budaya lainnya. Oleh sebab itu pendidikan harus mampu menjadi sarana untuk “memproduksi‟ kesadaran untuk mengembalikan kemanusiaannya manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasarat upaya untuk pembebasan.

B. PARADIGMA PENDIDIKAN KRITIS

Di dalam dunia akademik, pendidikan kritis mempunyai banyak label. Di antara istilah-istilah yang dimunculkan adalah “pedagogy of critique and possibility”,“pedagogy of student voice”, “pedagogy of empowerment”, “radical pedagogy”, “pedagogy for radical democracy”, dan “pedagogy of possibility”, “critical pedagogy”, atau “transformative pedagogy“. Pendidikan kritis pada intinya berupaya memberikan kesempatan dan kebebasan bagi para individu untuk menentukan masa depannya sendiri. Inilah yang dimaksud Freire bahwa pendidikan merupakan praktik pembebasan (education as the practice of freedom).2 Pijakan dasar tradisi pendidikan kritis adalah pemikiran dan paradigma yang secara ideologis melakukan kritik terhadap sistem dan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Pendidikan dalam paham ini merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Pendidikan kritis merupakan proses perjuangan politik. Bagi penganut pendidikan kritis, ketidakadilan kelas, diskriminasi gender, serta berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya seperti hegemoni kultural dan politik serta dominasi melalui diskursus pengetahuan yang merasuk di masyarakat, akan terefleksi dalam proses pendidikan. Refleksi ini harus menjadi cermin kondisi sosial dalam dunia pendidikan.

Menjadikan murid sebagai objek pendidikan dalam perspektif kritis adalah bagian dari problem dehumanisasi. Dengan kata lain, paradigma pendidikan dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur di luarnya, tapi juga bercita-cita mentransformasikan relasi knowledge/ power dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ dan ‘yang dididik’ di dalam diri pendidikan sendiri.

Usaha pendidikan dan pelatihan sesungguhnya secara struktural adalah bagian dari sistem sosial, ekonomi dan politik yang ada. Oleh karena itu, banyak pihak pesimis untuk berharap agar institusi pendidikan menjadi badan independen yang berdaya kritis. Penganut paham ‘reproduksi’ dalam pendidikan umumnya percaya bahwa pendidikan sulit diharapkan untuk memerankan perubahan, karena mereka justru yang mereproduksi sistem yang ada atau hukum yang berlaku. Dalam perspektif kritis, terutama aliran ‘produksi’ dalam pendidikan dan pelatihan, setiap upaya pendidikan haruslah menciptakan peluang untuk senantiasa sebagai proses independen untuk transformasi sosial.

Pendidikan kritis merupakan kelanjutan dari gerakan pembebasan. Maka pendidikan kritis dan pembebasan pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kata “pembebasan” dalam pendidikan adalah pembebasan setiap aspek kehidupan, termasuk kehidupan pribadi. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideology‟ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominant sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifkasi dan menganalisis secara bebas kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.

Banyak ahli pendidikan yang beranggapan bahwa peletak dasar filosofi paradigma pendidikan kritis ini adalah Paulo Freire, dan terinspirasi oleh pemikir lain tentang “pembebasan” seperti karya Erich Fromm (Fear From Freedom - 1942, Beyond the Chains of Illusion – 1962). Begitu juga pemikiran Frantz Fanon (1961) dari Afrika tentang “psikologi bagi kaum tertindas” dalam karyanya yang berjudul The Wretched of the Earth juga dianggap sebagai pelopor lahirnya pendidikan kritis. Tetapi bagi penulis, penggagas pertama tentang paradigma pendidikan kritis adalah Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantoro) dengan

5

Pancadarma Taman Siswa, yang berprinsip bahwa pendidikan harus menyangkut kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.3 Sebab Paulo Freire baru lahir tahun 1912, Form gagasannya berkembang tahun 60-an, sementara Fanon juga berkembang tahun 60-an. Ki Hadjar Dewantoro mulai meluncurkan gagasan tentang sistem pendidikan yang mampu membebaskan dan atau memerdekakan manusia sejak tahun 1913.

Akan tetapi akhirnya tradisi pendidikan kritis diidentikkan dengan Paulo Freire dan dianggap sebagai peletak dasar filosofinya. Freire, tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar “pendidikan bagi kaum tertindas” asal Brazil, memberikan makna pembebasan lebih sebagai kebangkitan kesadaran kritis masyarakat. Meskipun pendidikan yang dikembangkan oleh Freire mulanya dikembangkan dan dipraktikkan dalam rangka pemberantasan buta huruf, namun meningkatkan kesadaran kritis (critical consciousness), atau yang di Indonesia lebih dikenal sebagai proses ‘konsientisasi’, merupakan hakikat pendidikan Freire. Analisis Freire berangkat dari kajiannya tentang proses dominasi budaya dan politik terhadap rakyat yang telah melahirkan ideologi rakyat tertindas sebagai akibat dari hegemoni. Oleh karenanya dalam mengembangkan pemikiran ideologi pendidikannya, Freire memulai dengan mengkaji watak budaya dari tiga kerangka kesadaran ideologi masyarakat tertindas.

Sungguhpun Paulo Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak digunakan untuk melihat kaitan ideologi dalam perubahan sosial dengan pemberdayaan masyarakat. Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya mengacu kepada suatu landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan “proses memanusiakan kembali manusia”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.

Dalam buku Conternarratives, Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel4 yang banyak mengulas mengenai pemikiran Freire, menurut mereka ada beberapa karakteristik pendidikan kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, bahwa semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh relasi bahasa yang dibentuk secara sosial dan historis. Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama pendidik dan peserta didik.

Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk melalui mediasi keluarga, masyarakat, sekolah dan sebagainya.5 Sebab, ia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pendidikan kritis, masalahnya terletak pada kondisi seseorang ketika hidup dalam konteks masyarakat yang tidak memungkinkan dia mengembangkan potensi secara optimal, bahkan mandeg karena faktor struktural atau cultural.6 Sebagai contoh, dia hidup dalam struktur politik yang represif yang tidak memungkinkannya leluasa mengeluarkan hak berpendapat untuk mengungkapkan keinginannya. Dia bahkan mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang mempunyai permasalahan yang disebabkan oleh persoalan ekonomi atau politik yang ‘dikondisikan’ oleh pihak lain. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya. Dalam paradigma pendidikan kritis, dia dibawa dari kesadaran naif ke kesadaran kritis.7

Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai.8 Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma ini, ada hubungan yang erat antara aktifitas dan tindakan dengan nilai, antara konsep dengan obyek dan antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma pembangunan dapat dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak hanya karena perbedaan pemahaman dan nilai yang dibangun selama ini. Bagi pemerintah, pembangunan merupakan terma yang digunakan sebagai proses mensejahterakan masyarakat. Karena itu, jika ada pembangunan jalan tol, maka berarti ada upaya mensejahterakan masyarakat. Namun, bagi masyarakat kata pembangunan dapat berarti sebaliknya, misalnya analog dengan penggusuran, relokasi atau ganti rugi. Anggapan ini muncul karena dalam realitasnya seringkali pembangunan dilakukan tidak didasarkan pada kebutuhan riil di masyarakat, namun didasarkan pada kemauan dari penguasa (top-down). Untuk mengatasi hal tersebut, perlu ada dialog terbuka antar berbagai pihak sehingga ada persamaan persepsi antara pihak pemerintah dan masyarakat.

Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa.9 Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Karena itu, sangat banyak dijumpai ragam bahasa yang digunakan masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur.10 Dari sinilah maka perlu adanya dialog terbuka antar beberapa pihak.

Kelima, munculnya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise / hak istimewa, secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil karena ada banyak kepentingan. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status social, atau jabatan itu dilakukan secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima, sebab bagaimanapun kemampuan antara satu orang dengan yang lain berbeda.

Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya berbagai permasalahan di masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun perlu mengaitkan dengan aspek lain.11 Sebagai contoh, persoalan ekonomi tidak cukup hanya dilihat dari perspektif ekonomi, namun perlu dikaitkan dengan politik, budaya, bahkan pemahaman terhadap ajaran agama. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya tenaga pendidik (guru) yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.

Kelima karakter pendidikan kritis di atas pada dasarnya merupakan proses transformasi peserta didik secara individual maupun sosial. Artinya, dalam perspektif pendidikan kritis munculnya berbagai permasalahan yang menimpa disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Secara internal, dia belum mencapai kesadaran kritis yang mampu menyelesaikan persoalan yang ada dalam diri dan juga masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan cermin bahwa proses pendidikan belum sepenuhnya mengoptimalkan potensi yang dimiliki peserta didik. Untuk itu, praktik pendidikan harus diorientasikan untuk mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki peserta didik tanpa ada kepentingan tertentu dari pihak penguasa atau pengelola lembaga pendidikan. Di sisi lain, secara eksternal, munculnya problem yang menimpa seseorang karena faktor dari luar, misalnya ketidakadilan sosial, kepentingan politik, kepentingan ekonomi pemilik modal, atau kultur yang kurang menguntungkan. Untuk itu, dia harus disadarkan melalui proses pendidikan di mana ada proses refleksi dan aksi. Refleksi dilakukan untuk membahas dan mencari alternatif pemecahan terhadap problem realitas di ruang kelas, sementara aksi merupakan tindak lanjut dari proses refleksi tersebut ke luar kelas.

Lebih lanjut, sebenarnya pandangan filsafat pendidikan Freire bermula dari kritiknya terhadap praktik pendidikan di dunia dewasa ini, yakni yang disebutnya sebagai banking concept of education. Murid dalam proses pendidikan model bank yang dipraktikan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka seakan-akan tidak bisa bergerak dan hanya pasif mendengar, mengikuti, mentaati dan mencontohi para guru. Pendidikan seperti itu bagi Freire tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi bahkan lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan.

Freire selanjutnya mengembangkan pendidikan yang memposisikan murid sebagai subjek pendidikan yang akan membangkitkan kesadaran kritis warga belajar terhadap ketidakadilan sistemik. Proses dan metodologi pendidikan konsientisasi ini telah mempengaruhi berbagai praktik pendidikan politik rakyat tertindas di Dunia Selatan. Konsientisasi juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan lainnya.

Dan seterusnya. Silakan baca di bawah ini !

Anda juga dapat memperoleh file tersebut di sini.

Selamat membaca semoga bermanfaat dan menginspirasi kawan guru hebat!


Penulis :





Posting Komentar

1 Komentar